Wajah
kesusastraan kita tengah mengalami perubahan yang sangat signifikan, apalagi
dengan dibukanya pasar bebas atau yang sering kita sebut sebagai MEA. Dengan
dibukanya MEA bukan hanya persoalan gaya hidup yang menjadi ancaman manusia
modern namun agama dan kepercayaan pun menjadi ancaman yang cukup serius. Jika
agama dan kepercayaan manusia sudah hancur maka secara otomatis cara pandang
manusia modern juga akan rusak, apabila cara pandang sudah rusak maka apa saja
yang berkenaan dengan pemikiran juga akan rusak.
https://encrypted-tbn2.gstatic.com
Ini sama
halnya dengan apa yang di khawatirkan Ritzer bahwa, McDonaldisasi tidak saja
mempengaruhi bisnis restoran, akan tetapi juga pendidikan, kerja, perawatan
kesehatan, trevel, waktu senggang, makanan, politik, keluarga, bahkan nyaris
setiap aspek kehidupan sosial. Mcdonalidisasi memang menjadi ancaman manusia
dari segala bentuk, bahkan dunia kesusastraan juga tak luput dari virus manusia
modern ini.
Semua itu
bisa kita buktikan dengan maraknya event-event sastra yang menjanjikan hadiah
jutaan bahkan puluhan juta pun ada, namun persyaratannya masih ada uang
pendaftarannya. Jadi setiap peserta yang mau ikut event tersebut harus bayar
pendaftaran terlebih dahulu, baik ditranfer lewat Bank mau pun bayar langsung
ke panitia. Fakta tersebut menandakan bahwa dunia sastra telah dimasuki oleh
paham-paham kapital dan tanpa sadar kadang kita ikut event tersebut meskipun
harus bayar.
Jika
demikian, maka praktek kapitalisme telah merasuki dunia sastra dan apabila hal
demikaian tidak ditindak lanjuti maka dunia kesusastraan tak ubahnya dengan
pasar yang berebut profit dan yang mereka kejar adalah uang semata. Para
pemodal akan dengan bebas masuk kedalam dunia sastra dengan menawarkan hadiah
yang cukup menggiurkan, padahal semua itu adalah perpanjangan tangan dari
kapitalisme.
Adalah
Adam Smith dengan buku termashurnya, The
Wealt of nations, dapat disebut sebagai bapak kapitalisme. Adam Smith
mengilustrasikan dengan sangat jelas bahwa: apa yang kita harapkan dari makan
malam kita tidak datang dari keajaiban dari si tukang daging, si pemasak bir
atau si tukang roti, melainkan dari apa yang mereka hormati dan kejar sebagai
kepentingan pribadi.
Kalau
kita mau menoleh kebelakang maka sejarah kapitalisme tidak terlepas dari
sejarah ekonomi internasional. Di mana pengelolaannya di anggap muncul pada
kisaran setelah perang dunia II, khususnya pada tahun 1960-an. Masa sesudah
tahun 1960-an adalah masa munculnya perusahaan multinasional (MMC) dan
perkembangan perdagangan internasional.
Kemudian
setelah sistem nilai tukar setengah tetap Bretton
Woods ditinggalkan pada tahun 1971-1973, investasi dalam bentuk surat-surat
berharga internasional dan pemberian kredit oleh Bank mulai berkembang dengan
cepat, seiring dengan meluasnya pasar modal keseluruh dunia, yang menambah
rumit hubungan ekonomi internasional dan membuka jalan bagi globalisasi ekonomi
dunia yang terintegrasi dan saling tergantung (Nur Sayyid Santoso Kresteva:
Kapitalisme, Negara dan Masyarakat).
Dari
situlah sejarah panjang kapitalisme bermula dan hingga kini menjadi ancaman
menyeramkan bagi manusia. Marx mengkritik keras akan masyarakat kapitalis,
menurutnya masyarakat kapitalis adalah masyarakat yang menjadikan hasrat untuk
“memiliki” (to have) dan
mempergunakan (to use) sebagai
keinginan utama manusia. Jadi manusia dituntut untuk terus menkonsumsi tanpa
batas, hingga Baudrirrard menyebut masyarakat modern sebagai masyarakat
konsumsi. Karena masyarakat modern membeli bukan karena kebutuhan melainkan
karena gaya hidup. Masyarakat konsumsi ini merupakan ciptaan dari kapitalisme itu sendiri.
Oleh
sebab itu, Mpu Gottar Parra seorang yang sangat peduli terhadap perkembangan
sastra modern, di Group facebook
Sastra Minggu memperingatkan bahwa, event yang ada uang pendaftarannya
sebaiknya bukan di ranah sastra.
Karena dunia sastra adalah wilayah yang “bersahaja” bukan tempat mencari laba.
Memang
dunia sastra dari dulu identik dengan dunia yang sangat anti terhadap laba atau
kapitalisme. Namun kenyataannya sekarang dunia sastra diam-diam telah dimasuki
oleh para pemilik mudal yang mencari keuntungan yang sangat besar, sehingga
sastra dijadikan alat untuk memperoleh keuntungan dan profit, dengan
diadakannya event-event yang ada uang pendaftarannya. Hal ini adalah sebagian
kecil dari sebuah event yang harus bayar, padahal masih banyak lagi event-event
yang menjanjikan misalnya: jalan-jalan keluar negeri, bonus ini, bonus itu, dan
parahnya lagi yang masuk dalam antologi yang dilombakan, mereka harus beli
untuk mendapatkan buku antologi tersebut. Bukankah ini adalah praktek dari kapitalisme dan menjadi ancaman
tersendiri dalam dunia sastra? Oleh sebab itu tulisan ini hanya sebagai
renungan bagaimana kita tidak hanya menulis tapi juga harus membaca, baik itu
berita, kerja sosial dan lain sebagainya.
dimuat di koran Minggu Pagi.
0 komentar:
Posting Komentar