Responsive Banner design
Home » » Dunia Sastra Katastropik

Dunia Sastra Katastropik



Interpretasi integral yang gagal itu diakibatkan oleh dua hal: pertama, karya sastra yang gagal. Kedua, pembaca yang gagal, Teeuw 2013. 

Ada semacam pergolakan yang tak pernah selesai dalam dunia kesusastraan, terus menggeliat dari waktu ke waktu. baik itu masalah karya dan pembaca yang tidak paham akan karya yang lahir. Memang dalam khazanah kesusastraan hal semacam itu lumrah, dan ini kemudian yang membuat karya sastra terus menggelinding bagai bola api.

Sebenarnya letak permasalahannya adalah ukuran keberhasilan karya sastra atau kesempurnaan karya itu sendiri. terus pertanyaanya adalah: seperti apakah karya sastra yang sempurna? ini kemudian yang membuat pergolakan di dalam kesustraan saat ini begitu panas dan membuat bulu kudu merinding. Ada yang mengatakan kalau karya sastra saat ini tengah diambang eksistensinya karena dengan mewabahnya zaman yang disebut networked society, zaman di mana akses yang tanpa batas, di mana setiap individu dengan cepat mendapatkan informasi atau berita meskipun jaraknya ribuan mill jauhnya, hanya dengan hitungan detik mereka akan mendapatkannya. Dan dengan bebas bisa berkomentar sesuka hati bahkan memaki-maki sekalipun. Ini kemudian yang disebut dunia hiperealitas kata Baudrillard. 

Memang bukan hanya karya sastra yang tengah diambang eksistensinya, kalau mau jujur manusia pun ketika dihadapkan pada zaman yang berkembang saat ini akan kehilangan eksistensinya. Lihat saja apa yang sering di wacanakan Baudlirrad tentang eksistensi manusia yang kini tengah beralih pada budaya konsumsi. Kata Baudlirrad, konsumsi bukan sekedar nafsu untuk membeli begitu banyak komoditas, satu fungsi kenikmatan, satu fungsi individual, pembebasan kebutuhan, pemuasan diri, kekayaan atau konsumsi objek. Namun lebih jauh lagi, konsumsi merupakan suatu struktur atau fakta sosial yang bersifat eksternal dan bersifat memaksa individu. Jika demikian maka manusia terus menerus tanpa sadar di paksa untuk mengkonsumsi tanpa batas. dan disitulah manusia akan kehilangan eksistensi dirinya.

Lalu bagaimana dengan karya sastra? Jika manusia sudah hilang sebagai diri dan menjelma sebagai diri yang lain, maka secara otomatis karya sastra yang dihasilkan oleh manusia itu sendiri akan terlepas dari hal-hal yang berbau kemanusiaan dan yang lahir adalah karya-karya imajinasi yang terbang dari dunia ke dunia lain bahkan melampaui batas-batas kenormalan.

Kita seringkali membanding-bandingkan karya sastra yang lahir sekarang dengan karya sastra dulu yang hidup melintas zaman dan terus tak pernah legang untuk diperbincangkan. Memang kita amini karya sastra zaman dulu mempunyai ghiroh yang sangat kuat, hingga bertahan sampai saat ini, namun adakah karya sastra yang lahir sekarang dapat bertahan sampai satu bulan atau minimal satu minggu dari launching karya tersebut? Jika ada maka sungguh beruntunglah karya tersebut. 

Membandingka-bandingkan seperti itu jelas adalah sebuah usaha yang sangat baik kiranya, namun jika pembandingan itu tidak di ikuti oleh diri kita sendiri dengan menghasilkan karya sastra seperti yang kita inginkan, maka nihillah apa yang kita inginkan tersebut. Oleh karena itu secara tidak langsung perbincangan sastra yang sangat memanas pada saat ini, entah itu karya yang tidak bagus, tidak layak terbit, bahkan karya yang abal-abal, sebenarnya tindakan tersebut adalah tindakan yang mengkeritik diri kita sendiri namun sayang seribu sayang ketika kita sedang memanas mengkritik sebuah karya sastra, kita lupa pada apa yang telah kita perbuat. Apakah kita (kritikus) telah melahirkan karya sastra seperti yang kita kritik atau bahkan belaum melakukan apa-apa.

Parahnya lagi adalah kita masih bisa mengumpat dengan permasalahan tersebut dengan alasan: aku kan kritikus, jadi wajar dong kalau aku gak punya karya sastra seperti antologi puisi dan cerpen yang fenomenal, serta kerjanya kritikus kan memang untuk mengkritisi sebuah karya. Kalau demikian, apa bedanya tukang obat dengan dokter spesialis? bukankah dua-duanya sama-sama menjanjikan kesembuhan bagi yang sakit! Bahkan kalau mau kita analogikan tukang obat yang dari pasar ke pasar yang lain mempromosikan bahwa dia mempunyai obat dari segala bentuk penyakit. Maka obat dari tukang obatlah yang paling mujarab ketimbang dari dokter spesialis yang menghabiskan waktunya untuk meneliti dan belajar bagaimana menyembuhkan suatu penyakit.

Dari sini permasalahan sastra yang memanas, saling maki sana-sini, dan tak pernah selesai, bahkan sampai ada yang membawa ke pihak yang berwajib, tanpaknya sudah agak jelas bahwa kita seringkali melihat kerja orang lain tanpa menyadari kerja kita sendiri. Memang sangat sulit bagi kita untuk menyalahkan diri kita sendiri, karena sebesar apa pun cermin di depan kita toh cermin itu tak dapat berbicara.

Maka kalau kita mau kembali pada apa yang Teeuw katakan, sebenarnya kita berada pada posisi yang mana: Apakah kita termasuk dari pengkarya yang gagal atau pembaca yang gagal? Jawaban paling benar ada pada benak kita masing-masing.   

dimuat di koran Analisa Medan 2016

0 komentar:

Posting Komentar

Mpu Sastra. Diberdayakan oleh Blogger.