Judul :
Soekarno Hatta Syahrir
Penulis :
M. Romandhon MK
Cetakan :
Mei 2015
Penerbit : Araska
Tebal :
CXXVI+248 halaman
ISBN : 978-602-300-143-9
Peresensi : Nurul Anam*
Di dalam sebuah negeri yang maju dan berkembang pasti
ada seorang tokoh yang berdiri tegak di belakangnya. Hal ini sudah menjadi
rahasia umum kalau sebuah negeri itu pasti di bangun oleh seorang tokoh yang
militan, mempunyai ideologi perubahan dan bercita-cita membawa negeri itu
menjadi negeri yang lebih baik dari sebelumnya serta bebas dari kungkungan
negeri lain.
Namun
tidak semua tokoh revolusioner bisa membuat dunia terpana dengan sepak
terjangnya. Hanya sedikit saja dan hanya orang-orang pilihanlah yang bisa
membuat mata dunia terpana. Mereka berdiri atas nama rakyat dan membangun
sebuah negara dengan hati nurani rakyatnya. Ideologi dari tokoh tersebut adalah
mengatasnamakan rakyatnya sehingga apapun yang terjadi dengan negara yang
mereka bangun, mereka akan selalu di kenenang oleh bangsanya bahkan oleh dunia,
bahwa tokoh itulah yang membawa perubahan.
Memang
tidak bisa kita pungkiri kalau di dalam sebuah negara, peran seoarang tokoh
sangat fundamental. Maka dari itu M. Romandhon MK lewat bukunya yang berjudul
“Soekarno Hatta Syahrir” mencoba mengkaji ulang sang founding fathers yang berkontribusi besar terhadap lahirnya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Meskipun corak dan gaya berpikir
dari ketiga tokoh tersebut berbeda namun mereka bahu membahu membangun NKRI.
Soekarno dengan karisma kepemimpinannya yang tegas dan juga orasinya yang
membuat nyali musuh menciut. Hatta merupakan sosok negarawan yang flamboyan dan
juga seorang pemikir genius sekaligus seorang pemimpin yang rela mati demi
kebenaran. Syahrir adalah satu-satunya diplomat ulung yang pernah dimiliki bangsa
ini. Ia juga seorang edukator sejati dan pemimpin muda yang selalu menyuarakan
revolusi
Soekarno, Hatta dan Syahrir
merupakan representasi dari “tiga macan Asia” yang selalu disegani oleh
pemimpin-pemimpin dunia. Ketiganya dipertemukan dalam satu panggung perjuangan
melawan klonialisme dan imperialisme. Mereka bersahabat, berkongsi, berbeda pendapat,
dan bahkan menjadi rival abadi. Mereka merajut asa dalam satu tujuan yakni
kemerdekaan Indonesia (hal: 4).
Perbedaan yang melekat dalam diri
ketiga tokoh ini menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi, namun juga
menjadi bumerang. Lahir di tengah gempuran kolonialisme dan imperialisme, telah
banyak memberikan kisah inspiratif bagi perjalanan hidup tiga tokoh ini.
Sepak Terjang
Sang Faounding Fathers
“Kami
menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak
jadi bangsa yang hidup hanya dari 2 ½ sen sehari. Bangsa yang kerja keras,
bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi
pembelian cita-cita (hal: 32).
Cuplikan pidato Soekarno di atas
merupakan sebuah refleksi di mana perjuangan dan semangat yang di kobarkan sang
bapak proklamator ini dalam merebut kemerdekaan sangat luar biasa. Bahkan tidak
sedikit massa yang terpropokasi oleh pidato beliau. Hingga kemuadian Soekarno
dikenal sebagai bapak proklamator RI, itu tak lepas karena kepandaiannya dalam
berorasi sehingga bangsa ini memberinya gelar sang proklamator bangsa.
Amarah Soekarno terhadap
kolonialisme sudah tidak bisa dibendung lagi untuk menuntaskan cita-cita para Faounding
Fathers yang telah lebih dulu gugur
di medan perang. Hal itu terbukti dari cuplikan pidato di atas bahwa tidak ada
yang sia-sia sebuah perjuangan suatu bangsa sekalipun mereka telah gugur. Untuk
itulah Soekarno bersama-sama dengan para pejuang bangsa lainnya, kemudian
mengumpulkan kekuatan untuk melepaskan diri dari kolonialisme Belanda dan
Jepang.
Jika Soekarno terkenal dengan
orasinya yang bisa membuat massa terbakar atau terpropokasi maka beda halnya
dengan Hatta yang lebih kalem dan jarang berbicara di atas panggung seperti
Soekarno. Namun meskipun begitu Hatta adalah salah satu pejuang yang rela mati
untuk kemerdekaan Indonesia. Hatta adalah seorang pemikir yang pandai dan
terkenal Genius. Dalam suatu kesempata Hatta mengatakan:
“Indonesia
merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa
mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat. Indonesia merdeka tidak ada gunanya
bagi kita, apabila kita tidak sanggup untuk mempergunakannya memenuhi cita-cita
rakyat kita. Hidup bahagia dan makmur dalam pengertian jasmani maupun rohani.
Maka dengan tercapainya penyerahan kedaulatan, perjuangan belum selesai.
Malahan kita berada pada permulaan perjuangan yang jauh lebih berat dan lebih
muli, yaitu perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dari pada segala macam
penindasan (hal: 88).
Inilah Hatta, meskipun tidak bisa
berorasi yang berapi-api seperti Soekarno namun dengan pemikirannya, orang juga
rela mati demi memperjuangkan kemerdekaan. Lalu bagaimana dengan Syahrir, apakah
dia juga genius seperti Hatta atau frontal seperti Soekarno? Syahrir adalah
satu-satunya diplomat ulung yang pernah dimiliki bangsa ini dan pemimpin kaum
muda yang selalu menyuarakan api revolusi.
“Hidup yang tak dipertaruhkan adalah hidup yang tak dimenangkan”. Inilah
kata-kata Syahrir yang sampai saat ini membuat bulu kudu merinding. Syahrirlah
juga yang menekan Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan dan dengan jelas
menyatakan perang kepada Jepang demi kemerdekaan bangsa ini.
Hadirnya buku ini sebagai kritik
dari ambruknya pemerintahan era sekarang. Di mana pemerintah pada kali ini
hanya mementingkan kepentingan pribadinya ketimbang kepentingan rakyat. Maka
dengan itu buku ini sangat cocok di baca oleh berbagai kalangan. Mahasiswa,
Dosen, Politisi dan lain sebagainya. Pembaca dapat mengambil hikmah, bagaimana
sang Faounding Fathers memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semua semata-mata
hanya demi rakyat dan masa depan bangsa.
*Nurul Anam, Pembina Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta
(LKKY).
dimuat di Koran Sindo 27-09-2015
0 komentar:
Posting Komentar