Responsive Banner design
Home » » Diponegoro Super Hero dari Jawa

Diponegoro Super Hero dari Jawa



Judul buku   : Jejak Kesaktian dan Spritual Pangeran Diponogoro
Penulis          : Syamsul Ma’arif
Penerbit        : Araska
Cetakan         : 1 Oktober 2014
Tebal              : xviii+ 246 Halaman
ISBN               : 978-602-300-048-7
Peresensi       : Nurul Anam*)

Sejarah adalah sebuah catatan atau peninggalan terdahulu yang mau tidak mau kita harus mengetahuinya. Dari saking pentingnya sejarah sampai-sampai President pertama Indonesia (Soekarno) mengatakan “jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Sebab dari sejarah itulah bangsa ini di bangun.
Dari itu dalam perjalanan yang sangat panjang, sejarah perang jawa merupakan titik balik krusial bagi para pejuang, terutama Pangeran Diponegoro dalam melawan klonialisme di tanah jawa. Tidak tanggung-tanggung perang yang berlangsung sejak 1825-1830 ini, kemudian menyeret Pangeran Diponegoro pada masalah kontroversi yang cukup lama, di mana ia dikagumi, dicintai sekaligus dibenci.
Pangeran Diponegoro dilahirkan di keraton Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785 menjelang fajar pada bulan puasa. Pendapat lain, Dipenogoro lahir pada 08 Sura tahun Be Wuku Wayang atau 08 Muharram 1200 Hijriyah. Nama kecilnya adalah Bendoro Raden Mas Mustahar. Ayahnya adalah Gusti Raden Mas Suryo yang kemudian hari menjadi Sultan Hamengku Buwono III. Diponegoro merupakan satu-satunya keturunan Hamengku Buwono III dengan Raden Ayu Mangkarawati (istri non permaisuri). Kelahiran menjelang fajar, hari jum’at pasaran Wage itu merupakan pertanda seorang bayi itu akan menjadi orang besar (hal: 15-16).
Apa yang telah diramalkan banyak orang ternyata benar adanya, Pangeran Diponegoro benar-benar menjadi orang besar dan menjadi peminpin perang untuk mengusir klonialisme dari tanah jawa. Dalam meminpin perang Diponegoro tidak hanya duduk-duduk mengawasi, menunggu hasil perang namun  juga ikut dalam operasi-operasi meliter. Itulah sifat ksatria yang di miliki oleh Pangeran Diponegoro yang sulit di temukan di peminpin-peminpin waktu itu.
Terjadinya perang di pulau jawa berawal dari datangnya bangsa Eropa ke Nusantara. Semangat yang di bawa bangsa Eropa ke tanah jawa bukan semangat berbisnis atau berdagang secara fair, namun lebih pada menjajah dan menguasai seluruh sektor perekonomian di tanah jawa sehingga masyarakat jawa tidak mempunyai ruang untuk mengembangkan usahanya.
Dari situlah Pangeran Diponegoro mengerakkan seluruh lapisan masyarakat untuk melawan penguasa. Kemudian inilah yang kita kenal sebagai perang Jawa, di mana Pangeran Diponegoro bersama rakyat jawa melawan kekuasaan Keraton Yogyakarta yang tunduk di bawah pengaruh Belanda. Perang ini disebabkan karena kondisi jawa sudah sangat memprihatinkan akibat dari kesewenang-wenangan belanda. Serta tiadanya kepeminpinan yang kuat  dan disegani telah membuat wibawa Keraton Yogyakartan menjadi hilang. Sehingga tingkah laku para pejabat pemerintahan Hindia-Belanda semakin menjadi-jadi (hal: 93-94).
   Perang yang di pinpin langsung oleh Pangeran Diponegoro ini bukan semata-mata karena kekuasan namun memang benar-benar hanya demi rakyat. Itu terbukti ketika Yogyakarta di bawah kekuasaan Ingris tahun 1812, Residen John Crawfurd pernah mengusulkan Pangeran Diponegoro sebagai putra mahkota sebagai pengganti sultan. Tetapi Pangeran Diponegoro menolak.
Kalau gerakan perlawanan Pangeran Diponegoro dianggap sebagai ambisi untuk menjadi penguasa tentu keliru. Tidak perlu dia bersusah payah mengangkat senjata dan bergerilya. Cukup menerima usulan tersebut dia pasti menjadi sultan. Tapi dia bukan seorang ambisius yang melakukan pemberontakan untuk kekuasaan pribadi (hal: 101).
Inilah yang membedakan Pangeran Diponegoro dengan raja-raja jawa lainnya. Kalau raja-raja yang lain berperang untuk rakyat sekaligus untuk menjadi penguasa. Dan yang lebih mengerikan lagi, raja-raja tersebut berperang bukan semata-mata membela rakyat namun hanya demi kekuasan belaka. Ini yang sangat membedakan antara raja-raja Jawa dengan Pangeran Diponegoro.
  Jadi sebagai bangsa yang besar kita tidak perlu menciptakan tokoh-tokoh fiktif semacam super hero untuk mendidik generasi penerus bangsa. Seperti tokoh-tokoh fiktif dalam film-film Hollywood. Kita punya banyak sekali tokoh pejuang bangsa, baik dari era kerajaan sampai klonial, bahkan setelah kemerdekaan sekalipun.
Dari apa yang telah direfleksikan dengan detail dalam buku karya Syamsul Ma’arif ini, kita bisa mengambil banyak pelajaran dan hikmah dari tokoh super hero bangsa ini. Dan di dalam buku ini juga dikupas tentang teka-teki kesaktian dan sepritualitas Pangeran Diponegoro. Tidak hanya itu namun buku ini juga mencoba meluruskan kontroversi Pangeran Diponegoro yang selama ini sengaja diburamkan oleh penguasa Belanda.   
    
*Nurul Anam, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dan aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

Mpu Sastra. Diberdayakan oleh Blogger.