Alunk
Estohank
Cinta
merupakan sebuah persoalan yang tak pernah bosan untuk kita bicarakan. Cinta
merupakan alasan kenapa Adam dan Hawa diturunkan ke dunia, dan kenapa Qais
harus menjadi gila.
Cinta adalah suatu hal yang sangat sulit untuk
kita definisikan bahkan kamus besar bahasa Indonesia pun (KBBI) tidak sanggup
mendefinisikan kata cinta hingga membuat kita puas akan arti cinta yang
sesungguhnya. Jika kita memakai perspektif anak muda, cinta itu bukan untuk
didefinisikan tapi untuk dirasakan. Berangkat dari perspektif tersebut maka
anak-anak muda saat ini berlomba-lomba ingin merasakan manisnya cinta. Dari itu
tidak salah kiranya apa yang dilantunkan Raza Lawang Sewu dalam lagunya (cinta
anak kampung) “kalau cinta sudah melekat, gula jawa rasa coklat”.
Sebenarnya persoalan cinta sudah digelisahkan
Sappho pada abad ke-6 SM. Sappho adalah salah satu filsuf wanita paling awal
yang menuliskan persoalan-persoalan cinta kedalam karya sastra. Sappho
beranggapan kalau cinta, apapun bentuknya, erotis atau kasih sayang orang tua,
ia anggap sebagai jalan menuju kebenaran. Kebenaran tentang manusia dan
kebenaran tentang dunia.
Setidaknya
Sappho mengekspresikan pemikirannya kedalam 300 buah puisi, dan hampir
kesemuanya berbicara soal gairah dan cinta. Maka tidak jarang dia dihujat oleh
para laki-laki dan perempuan yang menganggap puisi-puisinya tidak pantas dan
tidak bermoral. Padahal Sappho hanya ingin menyatakan bahwa gairah dan cinta
adalah bagian dari kehidupan manusia.
Memasuki
abad pertengahan persoalan cinta semakin kompleks untuk dibicarakan sebab pada
masa itu kata cinta hanya terfokus pada dua kutub saja yaitu “Agama dan Tuhan”.
betapa tidak marilah lihat kisah cinta Heloise dan Abelard yang menjadi saksi
betapa agama dapat menyebabkan sebuah tragedi kemanusiaan.
Kisah
cinta Abelard kepada Heloise bermula ketika keduanya berada dalam satu ruang
edukasi, yaitu ketika Abelard menjadi guru privat Heloise. Dari ruang itulah
benih-benih cinta mulai tumbuh, hingga pada akhirnya mereka lupa kalau pada
saat itu cinta mereka telah begitu jauh bergerak hingga memasuki ruang-ruang
hampa, di mana hanya manusia-manusia pilihanlah yang dapat memasukinya.
Begitulah cinta, yang membuat manusia lupa akan siapa dirinya.
Hanya
karena cinta Abelard lupa kalau dirinya adalah guru katedral, di mana aturan
yang berlaku di greja melarang keras bahkan mengharamkan seorang guru katedral
menikah apalagi kawin (merre).
Abelard lupa akan hal itu sehingga pada suatu ketika Heloise hamil dan harus
pergi meninggalkan Abelard karena tidak ingin menggangu konsentrasinya dalam
belajar filsafat. Namun Abelard bersikukuh ingin bertanggung jawab akan apa
yang telah diperbuatnya, tapi keinginan tersebut sia-sia karena Heloise tidak
mau menikah dengan alasan yang sama yaitu tidak ingin mengganggu konsentrasinya
dalam belajar filsafat.
Cinta
membuat Abelard putus asa dan memilih hidup di dalam biara. Dari dalam biara
itu dia menuliskan kisah cintanya dan menghasilkan karya yang luar biasa yaitu
“Historia calamitatum” karya yang
membuat dirinya terkenal dan dikenang oleh dunia khususnya bagi para pecinta.
Bagaimana dengan Heloise, apakah setelah dia melahirkan dia hidup tentram
dengan hasil percintaannya denga Abelard? Ternyata tidak, meskipun telah
merasakan manisnya cinta, Heloise tetap berduka. Karena cinta bukan untuk
dirasakan, didefinisikan dan diartikan, tapi cinta untuk dirinya sendiri.
Manusia tidak bisa berbuat apa-apa, hatilah yang bisa menggeggamnya.
Lalau
bagaimana dengan cinta di abad ini, apakah cinta memang demikian sakralnya
hingga membuat sang pecinta harus mengorbankan segalanya hanya demi cinta,
apakah cinta memang tidak bisa diajak kompromi, lalu kenapa kita harus jatuh
cinta kalau harus ada luka di antara kita?
Di abad
ini, masalah cinta sudah dianggap biasa dan tidak sakral lagi, sebab anak-anak
muda sekarang bercinta tak ubahnya hewan di kebun binatang, mereka mengamalkan
ajaran “kalau cinta bukan untuk di definisikan tapi untuk dirasakan”. Begitulah
kebanyakan anak muda saat ini, tapi tidak dengan Muhammad Ali Fakih, pemuda
kelahiran Madura 08 Maret 1988 ini saya kira sebagai Abelard sekaligus Qais di
Abad ini. Betapa tidak, kisah cintanya denga seorang gadis keturunan Teonghoa
harus membentur tembok yang sangat kuat sekali bahkan saya kira lebih kuat dari
tembok Cina. Kenapa demikian? Sebab Muhammad Ali Fakih yang dari namanya saja
bisa ditebak kalau dia beragama islam karena di awali dengan Muhammad dan
dilanjutkan oleh Ali Sahabatnya, sedangkan kekasihnya bernama Faustina Hanna
yang dari namanya juga kita sudah tahu kalau dia beragama Kristen karena sudah
diawali dengan kata Faus di awal namanya.
Namun
cinta tak mengenal rintangan, begitulah dia sering mengatakan ketika sesekali
aku menanyakan tentang kisah cintanya yang kira-kira sudah berjalan tiga
tahunan ini. Perbedaan agama serta garis keturunan yang berbeda membuat cinta
mereka berdua harus berhadapan dengan badai yang sangat besar, di mana agama
Islam sudah sangat jelas melarang ummatnya untuk menikah beda agama begitu juga
dengan Kristen. Namun cinta tak mengenal rintangan, telah membuat mereka mabuk,
hingga meski berkali-kali mereka jatuh tapi bangun lagi, jatuh bangun lagi. Cinta
Fakih dan Hana telah mencapai ketakterbatasan akal anak muda pada biasanya, dia
sanggup mendaki puncak tertinggi hanya demi sebuah cinta, ya cinta yang telah
di hancurkan oleh anak muda sekarang.
Fakih
berjanji, jika sautu saat Hana mendapat karomah, waktu itu juga dia akan pergi
ke Jakarta untuk melamarnya, begitu juga dengan Hana jika suatu saat Fakih
diberkati Yesus, saat itu pula dia akan menjemputnya ke Yogyakarta untuk
melangsungkan pernikahan. Tapi sampai kapan mereka akan menunggu pencerahan dan
jalan terang pelaminan, jika agama menjadi tembok pembatas cinta mereka! Sampai
cinta tahu kalau agama dan keturunan bukanlah alasan bagi kita untuk tidak
saling mencintai. Begitulah Fakih selalu menyebutnya.
Cinta
memang selalu membuat manusia menjadi apapun, kadang gila, kadang agamis,
kadang romantis, dan yang sering terjadi adalah bisa membuat manusia menjadi puitis
hanya gara-gara cinta. Dari Sappho, Abelard, Qais, Kahlil Gibran sampai
Muhammad Ali Fakih. Telah berapa ribu puisi cinta lahir dari tangan mereka,
semua karena cinta.
*kisah Abelard dan Helois dikutip dari
makalah Gadis Arivia yang berjudul: Filsafat, Hasrat, Seks dan Simone de
Beauvoir
0 komentar:
Posting Komentar